La Hami merupakan novel angkatan Balai Pustaka, terbit pada
tahun 1953 oleh Balai Pustaka, dan dikarang Marah Rusli. Marah Rusli lahir pada
tanggal 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatra barat dengan nama lengkap Marah Halim
bin Sutan Abu Bakar. Buku ini merupakan karya sastra lama yang menceritakan
tentang kehidupan di Pulau Sumbawa.
Resensi ini ditulis untuk mendalami budaya Indonesia dari
novel-novel karya sastra. dalam buku ini terkisah seorang anak Raja yang
diculik dan di buang oleh Juru Bicara Kerajaan yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Sang Raja; dengan tujuan jika sang raja tidak memiliki putra
mahkota maka kedudukan raja akan di serahkan pada Juru Bicara Raja tersebut.
“Dua puluh empat tahun lalu, yang menjadi datu rangga di
Negeri Sumbawa, ialah RAJA Anjong, sedang Garahanya bernama Putri Nakia. Keduanya
dipandang dan dimalui, disegani dan disayangi orang seluruh kerajaan Sumbawa,
sampai kepada Rajanya Sultan Badrunsyah. Sebabnya bukan saja karena bangsawan
tinggi, tetapi juga karena Raja Anjong seorang yang pandai memangku bumi, adil
dan bijaksana dalam putusannya, serta mempunyai kepandaian yang dalam.
Datu Kalibela yang bernama Daeng Matita, adalah seorang
bangsawan yang berasal dari pulau selayar. Datu Kalibela ini adalah seorang
yang loba dan tamak kepada harta dan pangkat serta kekuasaan.
Pada suatu hari, datanglah seorang nelayan yang bernama
Genang kepada Raja Anjong, membawa kabar, bawha Ponto Wanike hendak menyerang
kota Sumbawa, karena hendak menangkap Raja Anjong. Kabar ini didengar sendiri
oleh oleh Genang dari seorang kaum bajak Ponto Wanike, yang dikenalnya benar,
tatkala ia memancing ikan di Teluk Saleh.
Beberapa hari sebelum Sumbawa akan diserang,
ditinggalkannyalah kota ini dengan Garahanya dan dua orang bujangnya yang
sangat setia kepadanya, dengan membawa apa yang sangat perlu saja baginya,
dalam perahu kecil. Berangkatlah mereka jam sepuluh malam dengan penerangan
cukup dari sinar bintang. Dua hari dua malam mereka berlayar; siang hari
memakai layar kecil dan malam hari berdayung, jika tak ada angin turutan.
Akhirnya sampailah mereka di panti sanggar ini, di mana mereka telah dua puluh
tahun hidup tersekat dari manusia dan masyarakat ramai. Supaya rahasia ini
jangan diketahui orang, ditukar merekalah namanya dengan Ompu Keli dan Ina
Rinda.” Terang Ompu Keli pada La Hami.
Di sini Ompu Keli terdiam beberapa lamanya, sebagai melintas
kembali sekalian peristiwa yang menyedihkan itu, pun Ina Rinda mengenangkan
nasibnya yang malang.
“Jika demikian, dewalah Raja Anjong, datu Rangga Sumbawa itu
dan dewa, Putri Nakia, Garaha Mangkubumi kerajaan Sumbawa,” kata La Hami kepada
Kedua orang tuanya, “Alangkah malangnya dewa Kedua, karena fitnah dan kejahatan
Daeng Matita.”
“Belum lama kami ada di sini, pada suatu pagi tatkala aku ke
pantai hendak mengail ikan, tiba-tiba terdengar oleh ku suara anak mengeak.
Hatiku berdebar, karena suara yang sedemikian, sekali-kali tidak kusangka akan
kudengar di sini. Selayang timbul takhyulku, yang menyangka suara itu bukan
suara manusia, tetapi suara jin laut, yang hendak memperdayakan daku. Tetapi
setelah teringat pula olehku, bahwa takhyul hanya ada dalam pikiran dan
perasaan yang samar, kuperiksalah tempat itu dengan seksamanya. Ya, dalam suatu
teluk kecil, kelihatan sebuah rakit yang terapung di atas air dan di atasnya
ada seorang bayi, yang sedang menangis. Ia terbaring di atas sehelai tikar
Jontal yang baik anyamannya dan diselimuti kain sutera bertekad emas, buatan
Bima. Tatkala kuangkat bayi ini, nyatalah ia seorang anak laki-laki, yang baik
parasnya dan tegap tubuhnya. Dokoh yang tergantung pada lehernya, terbuat dari
emas yang sangat halus tempanya. Dokoh, selimut dan tilam ini, yang baik
buatannya dan mahal harganya, menimbulkan keyakinan dalam hatiku, bahwa
kanak-kanak ini bukan anak sembarang orang, tetapi anak orang baik juga; kalau
bukan anak orang yang berpangkat tinggi, mungkin anak Raja-Raja. Lalu kubawa
bayi ini kepada Ibumu, yang menerimanya dengan berlinang-linang air matanya,
karena kesukaan dan kepiluan. Sekali.” terang Ompu Keli hal ihwal asal La Hami.
“Dan tahukah engkau siapa nama yang kami berikan kepada anak
ini?” Tanya Ina Rinda kepada anaknya dengan tersenyum, “La Hami,” lalu
dipeluknya anak ini.
-------------------
Di tengah-tengah keramaian dan kesukaan ini, duduklah Putri
Nila
Kanti dengan gundah-gulana rupanya, sedang ingatannya tiada
di sana.
“Mengapakah Ruma tiada bersiram?” tanya Wila.
“Tak ingin lagi,” sahutnya dengan pendek, lalu termenung
pula.
“Sakitkah Ruma?” tanya Wila pula, yang mulai kuatir akan
tuannya.
“Sesudah beta melihat wajah muka anak muda tadi, seakan-akan
hilanglah sekalian kesukaan dan keinginan hati beta. Siapakah anak muda ini? Di
mana tempatnya? Dan mengapa ia ke Dompo ini?” kata Putri Nila Kanti pula kepada
dayangnya yang dipercayai dan dikasihinya.
-------------------
Mengapa anak Raja Sanggar ini dengan orang-orangnya tidak
dibunuh saja, Kepala? Apa gunanya mereka dipelihara di sini? Banyak kerja
mengurusnya dan mereka menghabiskan makanan, sedang rahasia kita diketahuinya.
Bukankah lebih baik kalau mereka tadi dibunuh saja di luar,” kata Karaka kepada
Manderu.
“Aku hendak mencoba mendapat hasil daripadanya,” jawab
Manderu
“Bagaimana jalannya? Dijual sebagai budak ke pulau lain?
“Mungkin. Atau kepada Ponto Wanike, bajak laut yang mudah
membawanya ke pulau lain. Tetapi lebih dahulu akan kucoba mendapat uang tebusan
dan bapaknya, Sultan Sanggar.”
“He, aturan baru,” sahut Karaka dengan berpikir.
“Dibunuh, takkan mendatang keuntungan, hanya kecapaian.
Sedang sesudah kita terima uang tebusan dan ayahnya, masih dapat kita jual dia
kepada Ponto Wanike. Dua kali untung, dengan tak rugi.”
“Memang benar,” sahut Karaka. “Tak sampai ke sana
pikiranku.”
“Dan ada yang akan lebih menguntungkan lagi dan Lalu Jala
ini’
‘Apa itu?” tanya Karaka pula dengan agak heran.
‘‘Putri Nila Kanti.’’
“Hah! Ia pun akan engkau jual?”
‘Mengapa tidak? Harganya akan lebih banyak dani harga Lalu
Jala, sebab Ia perempuan cantik.”
‘Tetapi putri ini belum ada dalam tangan kita.’
“Mustahilkah akan mendapatnya?”
“Jangan kaulupakan, ia ada dalam istananya, yang letaknya di
tengah-tengah negerinya, dijaga oleh laskarnya.”
“Engkau bukan Karaka, kalau engkau tak dapat mencari akal,
untuk mengambilnya dan pangkuan ibunya sekalipun.”
-------------------
“Ya, aku Nila Kanti, Putri Dompo. Tuan siapa?” kedengaran
suara perlahan-lahan dan dalam.
“Patik La Hami dan Sanggar, hendak melepaskan Tuanku.” Suara
jeritan yang lekas dapat ditutup, kedengaran di dalam, yang diikuti suara sedu
.... Sudah itu barulah ke luar perkataan Putri Nila Kanti, “La Hami, tolong
aku!”
“Segera Tuanku. Sabar dan diam!”
Dengan segera Lalu Hami dan Maliki menggagahi pintu penjara
mi, sehingga tiada berapa lama kemudian, terbukalah pintu mi, yang dikunci dan
luar dan ke!uarlah Putri Nila Kanti.
Di luar, Putri Nila Kanti lalu memeluk Lalu Hami dan dengan
air mata yang bercucuran Ia berkata, “Terima kasih Lalu Hami, terima kasih
kekasihku,” lalu pingsanlah ia dalam pelukan Lalu Hami.
Sekejap mata Lalu Hami tiada berkata-kata, karena pelukan
kekasihnya, yang sangat dicintainya ini dan karena perkataan Putri Nila Kanti
yang menamainya “kekasihku,” sehingga tahulah ia bahwa Putri Nila Kanti pun
cinta kepadanya. Dengan tiada diinsyafinya kedua belah tangannya memeluk putri
Dompo pula, sedang pipinya mendapat pipi Nila Kanti, yang kepalanya tersandar
di bahu Lalu Hami.
Berapa lamanya ia di dalam Surga Janah i, tiada
diketahuinya, tetapi tiba-tiba didengarnya suara Maliki, “Hamba bermohon
mencari Ruma Lalu Jala, Dewa.”
Di situ barulah Ia ingat, bahwa kekasihnya yang ada dalam
tangannya, sekali-kali belum terlepas dan bahaya pembegal yang jahat itu.
Bahkan ia ada dalam sarang harimau yang ganas, yang pada waktu itu sedang tidur
Tetapi apabila Ia bangun kembali, niscaya ia dengan kekasihnya akan masuk ke
dalam neraka jahanam. Oleh sebab itu dengan segera Ia menjawab, “Ruma Lalu Jala
serahkan kepadaku! Engkau segera membawa Putri Nila Kanti ke luar dan tempat
ini dan langsung ke Kempo. Minta pertolongan Jenali Kempo, mengantarkan Putri
Nila Kanti ke Dompo dengan pengantar yang kuat’
“Dan Dewa?” tanya Maliki dengan kuatir, “Aku tinggal di sini
menolong Ruma Lalu Jala.”“Sendiri saja?”
“Ceritakanlah! Beta ingin mendengarnya,” kata permaisuri.
Kedua bentara ini lalu bercerita, bahwa mereka telah
menghadap Toreli Lalu Abdul Hamid, yang kebenaran sedang menilik Raja Anjong,
yang mulai sembuh dan lukanya, sedang gahara beliau, Putri Nakia pun
ada pula bersama-sama.
“Setelah patik persembahkan, bahwa patik keduanya diutus
oleh Puma Permaisuri Bima, untuk memohonkan beberapa keterangan tentang La Hami
yang telah datang ke Bima dahulu dan ayah bunda beliau Ompu Keli dan Ina Rinda,
lalu dipastikanlah oleh ketiga Ruma itu, bahwa Toreli Lalu Abdul Hamid,
memanglah La Hami, yang telah datang ke Bima ini waktu perayaan sirih puan yang
baru lalu. Beliau tiada tenggelam di Selat Sape, tetapi terdampar di Teluk Warorada
dan ditolong oleh orang Sondo, lalu kembali ke Sanggar, sedang Ruma Raja
Anjong, memanglah Datu Rangga Sumbawa dahulu yang melarikan diri ke Pantai
Sanggar, lalu menukar nama beliau di sana dengan Ompu Keli, sedang gahara
beliau yang bernama Putri Nakia, memakai nama Ina Rinda.
Toreli Lalu Abdul Hamid bukanlah putra kandung Ruma Raja
Anjong, tetapi putra angkat beliau, yang bertemu di pantai taut Sanggar,
kira-kira 24 tahun yang lalu, tatkala Ruma itu masih berusia kira-kira
sebulan.”
Permaisuri Cahya Amin pucat mukanya mendengar kepastian ini,
sedang baginda dan Putri Sari Langkas berdebar-debar jantungnya
sehingga seakan-akan gemetar tubuhnya.
“Adakah konon suatu tanda yang didapat Raja Anjong bersamaan
dengan kanak-kanak itu?” tanya permaisuri dengan gemetar suaranya.
“Ada Ruma, patik bawa, yaitu sehelai tilam daun Jontal,
buatan Bima yang amat baik anyamannya, sehelai selimut buatan Bima pula, yang
amat permai tenunannya dan sebuah Dokoh mas, pun buatan Bima pula, yang amat
elok tempaannya.”
“Mana, mana? Segera perlihatkan kepadaku!” kata permaisuri
tergesa-gesa dengan suara yang gugup, karena tak sabar.
Kedua utusan mempersembahkan dengan segera ketiga
tanda-tanda yang dibawanya kepada permaisuri, yang seakan-akan merebut
barang-barang ini dan tangan kedua bentaranya, lalu diperhatikannya beberapa
lamanya dan diperiksanya benar-benar.
Setelah itu tiba-tiba menjeritlah ia, “Anakku!” katanya,
lalu rebah pingsan, tiada khabarkan dirinya.
Sumber : http://putrinargish.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar